History of Java merupakan buku asli Raffles (1817) yang
terdiri atas dua volume, yaitu uraian inti tentang Jawa secara lengkap dan informasi tambahan. Namun di dalam terjemahan
ini, kedua volume tersebut telah
disatukan.
Raffles (1781-1826) mengawali kariernya sebagai juru tulis sebuah perusahaan Hindia-Timur (1795). Menurut sebuah biografi,
Raffles dikenal sebagai seorang yang
tekun, rajin belajar, ulet, dan berkemauan keras. Raffles mempunyai semua syarat sebagai penghasil mahakarya
(masterpiece), sehingga mahakarya
"The History of Java" dapat terselesaikan.
Raffles pertama kali berada di Jawa (1811) berperan sebagai
Lieutenant Governor of Java yang
bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal Inggris di India yaitu Lord Minto (Sir Gilbert Elliot
Murray-Kynynmond) yang kemudian meninggal pada tahun 1814 dan digantikan oleh
Raffles. Namun pemerintahan Raffles hanya bertahan selama 5 tahun. Saat Jawa
kembali ke tangan Belanda, Raffles tengah menggagas dan mengerjakan proyek arkeologi dan botani di
Jawa. Kemudian sampai tahun 1823 Raffles
menjadi Gubernur di Bengkulu yang memang berdasarkan suatu perjanjian tidak
diserahkan ke tangan Belanda bersama
Belitung, dan Bangka.
Dalam hatinya, Raffles masih sangat menyukai Jawa dan ia
membenci Belanda yang kembali berkuasa di Jawa. Pada tahun 1819 Raffles
menjalin kerjasama dengan Tumenggung Sri Maharaja penguasa Singapura dalam rangka menggagas pusat
perdagangan di Pulau Singapura. Kerjasam itu membuat Inggris diizinkan mendirikan
koloni di Singapura dengan syarat
Inggris melindungi para pedagang Singapura dari Belanda dan Bugis.
Raffles bersumpah Singapura akan dijadikan koloni baru yang meskipun kecil,
namun akan jauh lebih maju dari Tanah
Jawa yang dikuasai Belanda. Raffles berupaya keras mewujudkan sumpah.
Sehingga Singapura menjadi pusat
perdagangan paling penting di wilayah Hindia Timur, sampai saat ini.
Pada tahun 1823
Raffles meninggalkan Indonesia (Bengkulu) karena situasi
politik. Tiga tahun kemudian, tepatnya sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, Raffles meninggal dunia. Meskipun ia
meninggal dalam usia yang masih tergolong muda, telah banyak jejak yang
ditinggalkan Raffles, antara lain :
1. Menggagas
berdirinya Kebun Raya Bogor bersama
ahli-ahli dari Inggris.
2. Mendirikan
Kebun Raya dan kebun binatang yang
terkenal di Singapura.
3. Warisan budaya
Jawa digali dan ditemukan atas prakarsa Raffles : Candi Borobudur
(1814), Candi Panataran (1815), Candi Prambanan
(1815).
4. Mendirikan
Museum Etnografi Batavia.
5. Berperan
sebagai administrator pemerintahan di
Jawa dan Bengkulu.
Semua jejak dan karya Raffles itu terekam dalam buku History
of Java yang juga merupakan referensi komprehensif tanah Jawa.
Secara garis besar, Raffles membagi bukunya ke dalam 2 jilid
yang terdiri dari 11 Bab. Pada buku jilid 1 terdiri dari Bab 1 sampai Bab 7,
sedangkan pada jilid 2 terdiri dari Bab 8 sampai Bab 11, yaitu sebagai berikut
:
Bab 1 : Kondisi
Geografis Pulau Jawa (termasuk di dalamnya keterangan geologi)
Bab 2 : Asal Mula
Penduduk Asli-Jawa
Bab 3 : Pertanian
di Jawa
Bab 4 :
Manufaktur (Industri) di Jawa
Bab 5 :
Perdagangan di Jawa
Bab 6 : Karakter
Penduduk di Jawa
Bab 7 : Adat
Istiadat Penduduk di Jawa
Bab 8 : Bahasa dan
Sastra
Bab 9 : Agama
Bab 10 : Sejarah
dari Awal-Munculnya Islam
Bab 11 : Sejarah
dari Munculnya Islam-Kedatangan Inggris
Dan lampiran-lampirannya berjumlah 12 (Lampiran A-M), yang
garis besarnya sebagai berikut :
Lampiran A : Kemunduran
Batavia
Lampiran B :
Perdagangan dengan Jepang
Lampiran C :
Terjemahan versi moderen Suria Alem (sebuah karya sastra)
Lampiran D :
Hukum pada Pengadilan Propinsi di Jawa
Lampiran E :
Perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku di Jawa dan sekitarnya
Lampiran F :
Cerita Pulau Sulawesi dan perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku
Lampiran G :
Angka-angka Candra Sengkala
Lampiran H :
Terjemahan Manik Maya
Lampiran I :
Terjemahan huruf prasasti Jawa dan Kawi Kuno
Lampiran J :
Pulau Bali
Lampiran K :
Instruksi Pajak
Lampiran M :
Memorandum tentang berat, ukuran, dll.
Pembahasan History Of Java
Tidaklah susah menemukan buku-buku yang mendeskripsikan
keadaan Indonesia pada masa kolonial. Beberapa buku tersebut antara lain
History of Sumatra karya William Marsden, History of The East Indian
Archipelago karya John Crawfurd. Namun tidak ada dari deretan karya tersebut
yang begitu monumental layaknya The History of Java, karya Thomas Stamford
Raffles yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1817.
Monumentalnya karya Raffles ini dapat dilihat dari kerapnya
The History of Java dijadikan acuan untuk menggambarkan Jawa pada masa
kolonial, khususnya masa kolonialisme Inggris yang sangat singkat di Nusantara.
Bernard H.M.Vlekke dalam karyanya, Nusantara, menyebut The History of Java
sebagai “campuran menawan deskripsi ilmiah, apologi, atau yang di zaman modern
disebut pelaporan cerdas.”. Karena pengakuan itulah Penerbit Narasi terdorong
untuk menerbitkan The History of Java dalam bahasa Indonesia.
Tidak hanya itu saja, monumentalnya The History of Java juga
ditopang oleh begitu kuatnya sosok Thomas Stamford Raffles sebagai penulis yang
terlibat langsung dalam pemerintahan Hindia Belanda sebagai Gubernur Jenderal
(1811-1816). Hal ini disebabkan oleh pandangannya atas Hindia Belanda yang
begitu berbeda dibandingkan masa kolonial Belanda memegang pemerintahan. Begitu
berpengaruhnya sosok Raffles direfleksikan pula oleh Drs.Syafruddin Azhar dalam
Pengantar edisi Indonesia The History of Java.
Raffles bukanlah tokoh dalam sejarah Inggris yang berasal
dari kelas bangsawan. Ayahnya, Benjamin Raffles hanyalah seorang tukang masak
di sebuah kapal yang pada akhirnya menjadi kapten. Dan Ibunya, Anne Lyde
Linderman.
Ketika Raffles masih muda, krisis ekonomi yang melanda
Inggris memaksanya mencari pekerjaan untuk menyokong ekonomi keluarga. Dengan
keuletan dan kecerdasannya ia berhasil menjadi Asisten Sekretaris pada sebuah
perusahaan untuk wilayah Kepulauan Melayu, yang
pada akhirnya dipercaya sebagai Gubernur Jenderal oleh Lord Minto.
Menurut Vlakke, semasa pemerintahan Raffles khususnya di
Sulawesi dan Kalimantan tidak lebih damai dibandingkan dengan masa kolonial
Belanda. Misalnya saja di Sulawesi yang terjadi peperangan terus menerus dengan
Bugis. Namun Raffles punya keistimewaan, ia membawa perspektif seorang humanis
di Hindia Belanda dengan mengkritik keras metode yang digunakan oleh Belanda
dalam menangani Hindia Belanda.Walaupun kemudian disebutkan dalam bagian awal
The History of Java bahwa ia tidak bermaksud menggambarkan keseluruhan
pemerintah Belanda di Hindia Belanda sebagai tiran dan perampok.
Raffles memulai kegubernurannya dengan tekad tegas menentang
perbudakan dan berusaha memperbaiki nasib para budak dengan menetapkan pajak
khusus dan upaya-upaya lain agar penduduknya berhenti memelihara para
hamba\sahaya. . Hasilnya memang biasa-biasa saja, namun langkah tersebut tetap
diingat sebagai langkah pertama menentang peninggalan “zaman emas masa silam”
yang sangat patut dicela. Dan Raffles tidak pernah mundur dari tujuannya itu
hanya karena perlawanan dari mereka yang ingin mempertahankannya, baik itu
orang Eropa maupun Indonesia.
Di dalam The History of Java masalah perbudakan hanya
disinggung secara singkat oleh Raffles namun tetap dengan keberpihakan yang
jelas. Dan pada Bab II buku ini Raffles menyebutkan bahwa, “Pendudukan pulau
ini oleh bangsa Inggris pada tahun 1811 menyebabkan masalah budak menjadi
perhatian utama, meskipun kita tidak bisa langsung melarang perbudakan atau
membebaskan para budak yang ada, namun kita bisa sedikit memperbaiki dan
mengubah peraturan menyangkut praktek ini sehingga di masa depan seluruh budak
dapat dibebaskan.”(hal.47)
Hal menarik lainnya adalah mengenai pendapat seorang Raffles
tentang karakter orang Jawa. Berbeda dengan orang Belanda, Raffles melihat
orang Jawa secara positif. Tidak ada lagi propaganda tentang orang Jawa yang
malas, pemarah, dan pembohong sebagaimana yang biasanya dicitrakan kolonial
Belanda. Mengenai pandangan orang-orang Belanda terhadap orang Jawa dapat
dilihat pada catatan resmi yang diberikan oleh Residen Dornick dari Distrik
Jepara pada tahun 1812. Dornick dalam catatan resminya, sebagaimana dikutip
Raffles, menyebutkan bahwa, “Jika orang Jawa adalah orang yang berkelas, atau
dalam keadaan yang makmur, maka mereka akan terlihat sebagai orang yang percaya
takhayul, sombong, pencemburu, suka membalas dendam, kejam, dan bertindak
seperti budak pada atasannya, keras dan kejam pada para bawahannya, dan pada
orang-orang yang tidak beruntung yang tunduk dalam wewenang mereka, mereka juga
malas dan lambat.”
Sebaliknya, Raffles menyebut masyarakat Jawa sebagai
penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas. Orang Jawa
dalam hubungan domestik memiliki sikap baik, lembut, kasih sayang, dan penuh
perhatian. Sedangkan dalam hubungan dengan masyarakat umum orang Jawa adalah
orang yang patuh, jujur, dan beriman, memperlihatkan sikap yang bijaksana,
jujur, jelas dalam berdagang dan berterus terang.
Perbedaan ini disadari oleh Raffles akibat dari kolonial
Belanda yang melihat masyarakat Jawa secara parsial. Menurut Raffles, karakter
sejati dari penduduk pribumi bukan yang tampak pada pemimpin kelas rendah yang
tunduk pada otoritas bangsa Eropa. Raffles dengan brilian menyimpulkan bahwa
pengetahuan tentang orang Jawa harus lebih menitikberatkan pada golongan petani
dan peladang, yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan jumlah populasi,
dan ini diterima dan secara hati-hati diterapkan untuk kalangan yang lebih atas
darinya.
Beberapa hal yang telah disebutkan itu hanyalah menunjukkan sebagian kecil dari
sikap seorang Raffles yang sangat jauh berbeda dari tokoh-tokoh sentral lain
yang pernah memegang kuasa sebelumnya, misalnya J.P.Coen. Raffles juga
melakukan reorganisasi lembaga-lembaga administratif dan peradilan di Jawa,
reformasi sistem pajak dan cukai, dan revisi atas perjanjian yang mengatur
hubungan pemerintah Batavia dengan raja-raja Jawa. Tapi The History of Java
tidak semata-mata menjadi laporan hasil kerja Raffles. Buku ini juga mencatat
berbagai hal tentang Jawa secara detil, meliputi masalah geografis,
kependudukan, pertanian, perdagangan, adat istiadat, kesenian, bahasa, hingga
agama, yang kemudian juga dilengkapi dengan gambar-gambar yang membantu deskripsi
Raffles, sehingga membuat The History of
Java menjadi layaknya ensiklopedia tentang Jawa yang ditulis pada abad 19.
Selain itu buku ini juga dilengkapi dengan lampiran tentang perbandingan
kosakata bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Lampung. Begitu kayanya data dalam
buku ini membuat sang penulis seakan-akan telah menulisnya berdasarkan
observasi puluhan tahun. Wajar jika kemudian Raffles meyakini bahwa tak ada
orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang ia miliki.
Keterangan-keterangan dalam teks-nya dilengkapi dengan
catatan-catatan kaki yang detail. Referensi berhubungan pada zamannya
digunakannnya untuk memperkaya keterangan.
Saat Raffles memerintah di Jawa terjadilah letusan gunung
api dengan energi terbesar di dunia dalam masa sejarah manusia : Tambora 1815
di Sumbawa. Dan, Raffles sangat detail menggambarkan peristiwa letusannya
sampai efek-efek kerusakannya. Saya belum pernah menemukan keterangan lain
sedetail keterangan Raffles tentang saat-saat letusan dahsyat Tambora tersebut.
Demikianlah sekilas memperkenalkan The History of Java
(Raffles, 1817), sebuah buku tentang Jawa yang sangat berharga untuk dipelajari
demi kepentingan masa kini.
Saat meninggalkan
Jawa dan Sumatra, Raffles menangis meratapi alam dan penduduk yang dicintainya,
yang dihentikannya dari perbudakan, yang digambarkannya sebagai "orang
pribumi yang tenang, sedikit berpetualang, tidak mudah terpancing melakukan
kekerasan atau pertumpahan darah".
"I believe there
is no one possessed of more information respecting Java than myself."
(Thomas Stamford Raffles, 1817)
PEMBAHASAN BAB II
”Secara tingkah laku dan kehidupan sehari-hari, Orang-orang
Jawa sangat sopan dan sederhana, bahkan cenderung tunduk” (Sir Thomas Stamford
Raffles)
Berdasarkan data sensus pemerintah Inggris yang dikeluarkan
pada tahun 1815, diketahui total populasi penduduk Pulau Jawa dan Madura
sebesar 4.615.270 jiwa dimana jumlah laki-laki hampir seimbang dengan jumlah
perempuannya. Penduduk yang tinggal di Provinsi Pribumi dan Madura memiliki
perbandingan kurang lebih 1 banding 4 dibandingkan penduduk yang tinggal di
Provinsi Eropa. Menurut Dr. Francis Buchanan, orang Jawa digambarkan sebagai
orang pendek, kekar, tegap, berotot dan sangat berbeda dengan bangsa Eropa.
Wajahnya persegi dengan dahi dan dagu tajam, dimana tulang pipinya sangat
lebar, alisnya tipis, matanya kecil dan letaknya masuk ke dalam tulang wajah.
Hidungnya kecil, tetapi tidak seperti ras Negroid. Bentuk mulutnya biasa,
rambutnya kasar, lurus dan hitam. Bahkan mereka yang tinggal di tempat paling
panas tidak segelap ras Negroid dan yang tinggal di tempat terdingin pun tidak
berkulit seputih orang Eropa. Digambarkan pula bahwa kaki mereka panjang dengan
telapak kaki dan pergelangan kecil. Kulit orang Jawa lebih dikategorikan kuning
dibandingkan tembaga atau hitam dan dianggap yang terbagus adalah warna kuning
emas, kecuali beberapa yang tinggal di daerah pegunungan yang lebih menyukai
warna tembaga. Orang Jawa yang tinggal di distrik Sunda (atau Orang Sunda)
merupakan penduduk gunung dengan ciri lebih lincah dibandingan Jawa Tengah
ataupun Jawa Timur. Sedangkan Orang Madura menampakkan ciri lebih perkasa dan
bebas serta berjalan lebih tegap. Secara tingkah laku dan kehidupan
sehari-hari, Orang-orang Jawa sangat sopan dan sederhana, bahkan cenderung
tunduk. Mereka mempunyai rasa kesopanan dan tidak bertindak atau berkata kasar.
Meski terasing, namun mereka sabar, tenang dan cenderung tidak suka mengusik
urusan orang lain. Mereka berjalan dengan lambat dan tidak tergesa-gesa, namun
dapat menjadi tangkas apabila diperlukan. Digambarkan juga mempunyai sifat
lembut dan pendiam dan tidak gemar berpetualang serta tidak menyukai
perdagangan internasional. Tidak gampang marah atau berkelahi dan mereka jarang
mendapatkan masalah. Kebiasaan balas dendam pun tidak begitu tepat diterapkan
pada bangsa Jawa. Karena alamnya subur, pekerjaan yang paling banyak dilakukan
adalah bertani yang memberikan dampak yang sangat baik untuk kesehatan hal ini
mendukung perkawinan dini (nikah muda), memperpanjang usia hidup dan banyaknya
anak. Banyak penduduk yang mencapai usia 70-80 tahun, bahkan ada yang mencapai
100 tahun meski rata-rata usia harapan hidupnya adalah 40-50 tahun di tempat
yang beriklim bagus. Kehidupan yang sehat dan panjang usia memudahkan mereka
membentuk jaringan keluarga. Laki-laki dan perempuan sangat cepat menginjak
usia dewasa, yang mempercepat pula mereka untuk menikah muda, laki-laki di umur
16 tahun dan perempuan di umur 13-14 tahun. Seperti yang dikatakan Montesquieu,
”Masa kanak-kanak dan perkawinan berlangsung bersamaan”, nyaris tidak ada
hambatan bagi pasangan yang menikah muda. Mata pencaharian mudah didapatkan dan
mereka tidak membutuhkan kemewahan. Anak-anak hanya menjadi beban orang tua di
waktu yang singkat, bahkan mereka menjadi tambahan tenaga kerja dan sumber
kekayaan. Untuk petani yang mengolah sawahnya sendiri, anak-anak bahkan
dianggap sebagai investasi yang sangat berharga meskipun selama masa
kanak-kanak, mereka dianggap tidak menghasilkan apapun. Pendidikan untuk
anak-anak sangat sedikit atau bahkan tidak ada kesempatan sama sekali dan tidak
banyak pakaian yang dimiliki. Mengenai timpat tinggal, pondok mereka tidak
membutuhkan banyak ruang dan mereka tidak butuh tempat tidur. Pondok para petani
dinamakan ’Umah Limasan’. Pondok tersebut dihargai dengan uang seharga 2-4
gulden atau 5-10 shilling uang Inggris apabila kondisinya masih baru.
Dindingnya terbuat dari bambu yang dijalin menjadi satu, sekat juga dibuat dari
bahan yang sama, atapnya terbuat dari rumput yang panjang atau dari sejenis
bambu sirap. Di dalam rumah terdapat dua ruangan, yaitu satu untuk orang tua
dan satu untuk anak-anak serta tidak terdapat jendela di dalamnya. Cahaya hanya
berasal dari pintu, sehingga pekerjaan rumah tangga biasanya dikerjakan di luar
rumah. Para wanita biasa menjahit atau memintal di beranda rumah, dimana mereka
terhalangi dari sinar matahari oleh bagian atap rumah yang menjuntai ke depan.
Di beberapa daerah pegunungan, dimana sering terjadi hujan lebat, penduduk
memperkuat pondok mereka dengan memasang jalinan bambu antara atap dan
tiang-tiang rumah. Secara keseluruhan, meski tinggal di rumah yang sederhana
dan kecil namun menyediakan kenyamanan bagi penghuninya. ’Cacah’ atau keluarga,
biasanya mempunyai anggota lebih sedikit dari keluarga Eropa karena anak-anak
meninggalkan rumah orang tua pada usia muda untuk membentuk keluarga mereka
sendiri. Jumlah anggota keluarga biasanya tidak lebih dari 4-5 orang dan karena
tenaga perempuan dihargai sama dengan tenaga laki-laki, maka para orang tua
membesarkan anak perempuan mereka sama dengan anak laki-laki. Mereka dibesarkan
dengan perhatian yang sama dan dengan kebanggaaan yang sama pula. Tidak ada
anggapan dalam masyarakat bahwa seorang anak adalah beban, atau kelahiran
seorang anak dianggap kemalangan. Oleh karenanya, masalah pernikahan dianggap
hal yang sangat umum, jarang ditemui seorang laki-laki lebih dari 20 tahun
masih melajang dan jarang pula ditemukan kasus perselingkuhan atau pelacuran,
kecuali di kota-kota besar. Para keluarga yang tinggal di dalam pondok-pondok
atau rumah tinggal biasanya berkumpul dalam suatu komunitas sendiri yang
disebut ’duku’ di distrik timur atau ’chantilan’ di distrik barat atau desa
menurut istilah administrasi wilayah. Biasanya penduduk dalam suatu desa
terdiri dari 50 sampai 200 jiwa. Pedesaaan besar atau kecil, dipagari bambu dan
tanaman menjalar lain serta tiap rumah tinggal dikelilingi oleh taman atai
kebun pribadi. Di Surakarta, ibukota provinsi milik pribumi, meski penduduknya
lebih dari 100 ribu jiwa, tetapi bisa disebut sebagai kumpulan dari berbagai
desa, tidak seperti kota-kota di negara Eropa. Perabotan yang berada di rumah
’wong cilik’ biasanya terlihat sangat sederhana, terdiri dari beberapa barang
saja. Tempat tidurnya, seperti di daerah Sumatera, berupa alas tikar dengan
beberapa bantal dan ditutupi semacam kelambu kain. Mereka tidak menggunakan
meja atau kursi, makanan ditaruh di atas nampan, dengan beberapa peralatan
makan dari keramik. Mereka duduk bersila, dan seperti para penganut ajaran
Islam, mereka menggunakan tangan kanan untuk makan. Sendok hanya digunakan
untuk makanan berair dan hampir tidak ada garpu atau pisau. Dari sisi pakaian,
penduduk asli Jawa berpakaian lebih baik dibandingkan penduduk India Barat.
Pakaian yang paling umum dipakai semua kalangan di pulau ini adalah kain
sarung, yang digambarkan Marsden, ”Penampilannya tidak seperti kain pendek
Skotlandia, berupa sehelai kain bercorak, dengan panjang 6-8 kaki dan lebarnya
3-4 kaki, dijahit di kedua sisinya, dan bentuknya seperti karung tanpa alas
yang dijahit”. Di kalangan orang Melayu, sarung biasanya dililitkan di leher
sebagai syal, atau diikat di pinggang dan menjuntai sampai mata kaki, serta
menutupi kedua kaki seperti gaun. Pola yang banyak digunakan orang Bugis dan
melayu berupa kota-kotak (tartan), tetapi orang Jawa mempunyai pola lebih
beragam. Kalangan petani kebanyakan menggunakan motif tartan, tetapi kalangan
bangsawan lebih menyukai batik Jawa atau kain yang dilukis. Pada acara resmi
mereka tidak menggunakan sarung atau jarit (kain yang ujungnya tidak
disatukan), tetapi menggunakan pakaian yang disebut ’dodot’, yang terbuat dari
sutera atau katun dan ukurannya lebih besar. Laki-laki dari kalangan bawah
biasa menggunakan celana kain selutut, dengan jarit atau kain yang melilit
pinggang dan menjuntai melewati lutut, seperti gaun pendek. Kaim ini selalu
diikat di pinggang dengan menggunakan sabuk saat bekerja di sawah atau
berpergian, tetapi biasanya dilepas saat bertemu dengan orang yang lebih
kuasa.. Dan Umumnya orang Jawa memakai kemeja pendek sebatas siku yang disebut
’kalambi’. Para wanitanya juga menggunakan kain yang sama dan dililitkan hingga
mata kaki namun cara mengikatnya berbeda dengan laki-laki. Pengikat kain
dinamakan ’udat’, sedangkan kain yang dililitkan mengelilingi tubuh menutup
dada sampai dekat lengan disebut ’kemban’. Mereka juga seringkali memakai gaun
longgar sepanjang lutut yang biasanya berwarna biru dengan lengan berkancing di
pergelangan tangan. Nilai pakaian laki-laki sekitar 12 shilling dan baju wanita
senilai 15 shilling. Laki-laki dan wanita Jawa secara umum membiarkan rambutnya
panjang alami dan tidak dipotong. Berbeda dengan orang Bugis dan Melayu, yang
mempunyai potongan rambut pendek. Kaum laki-laki, kecuali dalam acara tertentu,
biasanya melingkarkan rambut mereka di sekeliling kepala dan menjepitnya dengan
sisir sirkam di depan. Namun di kalangan petinggi, merupakan suatu kehormatan
untuk membiarkan rambutnya terurai di hadapan atasan mereka. Di distrik Sunda dan
Cheribon, pada acara tertentu, para petinggi membiarkan jambul mereka
dikeriting dan terurai di bahu. Ada beberapa jenis minyak wangi yang dipakan
pria dan wanita, seperti ’lang’a chandana (minyak cendana)’, minyak kenangan,
minyak garu, minyak gandapura dan minyak jeru serta melumuri tubuh dengan
semacam ramuan yang disebut ’bore’ (bedak) yang terdiri dari bedak kuning,
bedak hitam, bedak sari dan bedak klambak. Ada juga minyak kesturi yang disebut
’dedas’. Di rumah orang kaya biasanya dibakar kayu dupa atau kayu-kayu wangi
lainnya. Dibandingkan daerah barat Asia, orang Jawa memiliki beberapa pantangan
dalam hal makanan, mereka beragama Islam, karenannya tidak memakan daging babi
dan meminum arak. Beberapa keluarga yang masih berpegang kepada kepercayaan Hindu
tidak memakan daging lembu atau sapi. Makanan pokok mereka adalah sayur-sayuran
dan nasi. Lauk pauk kesehariannya berupa ikan, unggas dan ayam. Ikan paling
banyak dimakan, dan sisa yang tidak dimakan diasinkan atau dikeringkan sera
dijual ke daerah pedalaman. Mereka tidak makan kura-kura atau hewan amfibi
lain. Daging kerbau, kambing, rusa dan berbagai jenis unggas yang menjadi
lauk-pauk banyak tersedia di pasar. Daging kuda juga banyak disukai namun
kemudian penyembelihan kuda dilarang. Daging rusa yang dikeringkan dan diasapi
telah dikenal luas di seluruh Kepulauan Malaya, yang disebut dendeng, dan
banyak diminati di Pulau Jawa. Garam dapur diproduksi di seluruh distrik,
tetapi karena diproduksi di daerah pantai, maka di daerah pedalaman harganya menjadi
lebih mahal. Gula yang diproduksi tidak berasal dari gula tebu, melainkan dari
pohon aren atau kelapa. Pembuatannya dengan merebus air pohon atau ’tari’, yang
dihasilkan kelopak bunga muda yang sengaja ditoreh untuk keperluan ini. Beras
yang telah ditumbuk kemudian dikukus, seringkali dimasak dengan sedikit air.
Beras yang dikukus akan menjadi nasi putih yang harum dan terkadang dijual ke
pasar atau di pinggir jalan. Jagung biasanya dibakar dengan gagangnya dan
beberapa masakan dimasak dengan santan pedas yang disebut sebagai ’gulai
melayu’. Selain makanan utama mereka mempunyai beberapa jenis kue dan kudapan
yang terbuat dari ketan, yang terkadang rasanya tidak sesuai dengan selera
Eropa. Orang Jawa suka mewarnai masakan mereka, diantaranya telur rebus yang
diwarnai coklat atau kuning, dan bahkan dengan warna merah. Bumbu yang paling
sering dipakai untuk memberi rasa pedas adalah lombok, yang apabila ditumbuk
dengan garam dinamakan sambal. Rasanya bervariasi tergantung bahan lain yang
digunakan, yang paling umum dipakai adalah trasi (blachang dalam bahasa
Melayu). Apabila beberapa sayuran dimasak menjadi satu dan direbus, maka
disebut ’jangan’ atau sayur hijau untuk lauk. Beberapa jenis sayuran merupakan
menu utama di Jawa, diantaranya padamoro, pindang dan semur, yaitu masakan yang
mirip kari di India. Telur asin juga salah satu lauk utama di Jawa. Telur bebek
yang jumlahnya sangat banyak diawetkan dengan cara dilumuri garam dan abu, atau
garam dan batu bata serta dibungkus dengan daun lebar lalu disimpan dalam bak
kayu besar atau lubang dari tanah. Telur akan masak dalam waktu 10 hari, tetapi
biasanya disimpan lebih lama dan bisa tahan berbulan-bulan karena telah
dilumuri oleh garam. Di beberapa distrik, telur bebek ’muscovy’ biasa juga
digunakan untuk telur asin ini. Dalam mempersiapkan makanan, orang Jawa sangat
memperhatikan kebersihan seperti layaknya penduduk Asia lainnya. Dalam masalah
selera makan, mereka berada diantara selera orang Hindu yang sangat bersih dan
orang Cina yang memakan segala jenis makanan. Air putih merupakan minuman yang
paling banyak dikonsumsi penduduk yang biasanya direbus dahulu dan diminum saat
masih hangat. Beberapa menaruh kayu manis atau rempah-rempah ke dalam
minumannya. Teh biasanya di tengah hari saat istirahat. Orang Jawa makan dua
kali dalam sehari. Pertama disebut ’mangan awan’, yaitu makan utama pada waktu
siang atau sebelum tengah hari dan kedua ’mangan wengie’ atau waktu makan
malam, yaitu antara jam 7-8 malam. Mereka tidak mengenal sarapan seperti orang
Eropa, tetapi bagi penduduk yang berpergian pada pagi hari biasanya
menyempatkan diri minum secangkir kopi dan kue beras sebelum meninggalkan
rumah. Makan pagi yang terkadang dilakukan penduduk dinamakan ’sarapan’.
Diringkas dari : The History of Java (Bab II). Sir Thomas Stamford Raffles.
Penerbit Narasi. 2008. Semoga Bermanfaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar