Latar Belakang
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Pancasila sebagai dasar Negara memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan membawa ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul kesalahan yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindarinya maka penerapan hukum-hukum agama (juga hukum-hukum adat) dalam sistem hukum negara menjadi penting untuk diterapkan. Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku.
Sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa , yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini ialah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selain-Nya adalah terbatas.
Negara Indonesia yang didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berkonsekuensi untuk menjamin kepada warga negara dan penduduknya memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
Arti Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa negara mengakui adanya Tuhan. Tuhan merupakan pencipta seluruh alam semesta ini. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tiada sekutu bagiNya, Esa dalam zatNya, dalam sifatNya maupun dalam perbuatanNya. Tuhan sendirilah yang maha mengetahui, dan tiada yang sanggup menandingi keagunganNya. Tidak ada yang bisa mengaturNya karena Tuhan mengatur segala aturan. Tuhan tidak diciptakan oleh makhluk lain melainkan Tuhan yang Menciptakan segalanya. Bahagia, tertawa, sedih, tangis, duka dan gembira juga Tuhan yang menentukan.
Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini ialah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selainNya adalah terbatas.
Butir-butir pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 45 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003.
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Dari butir-butir yang telah disebutkan di atas, telah di sebutkan bahwa dalam kehidupan beragama itu tidak diperbolehkan adanya suatu paksaan. Setelah ketetapan ini dicabut, tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Manusia selain merupakan mahluk ciptaan Tuhan juga merupakan mahluk sosial, yang berarti bahwa manusia memerlukan pergaulan dengan manusia lainnya. Setiap manusia perlu bersosialisasi dengan anggota masyarakat lainnya.
Bangsa Indonesia yang beraneka agama, menjalankan ibadahnya masing - masing dimana pemeluk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan norma agamanya. Agar tidak terjadi pertentangan antara pemeluk agama yang berbeda, maka hendaknya dikembangkan sikap toleransi beragama, yaitu sikap hormat menghormati sesama pemeluk agama yang berbeda, sikap menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai ajaran agama masing-masing, dan tidak boleh memaksakan suatu agama kepada orang lain. Tolenransi beragama tidak berarti bahwa ajaran agama yang satu bercampur aduk dengan ajaran agama lainnya.
Nilai-Nilai Ketuhanan pada zaman Jepang
Menjelang akhir tahun 1944 bala tentara Jepang secara terus menerus menderita kekalahan perang dari sekutu. Hal ini kemudian membawa perubahan baru bagi pemerintah Jepang di Tokyo dengan janji kemerdekaan yang di umumkan Perdana Mentri Kaiso tanggal 7 september 1944 dalam sidang istimewa Parlemen Jepang (Teikoku Gikai) ke 85. Janji tersebut kemudian diumumkan oleh Jenderal Kumakhichi Haroda tanggal 1 maret 1945 yang merencanakan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Sebagai realisasi janji tersebut pada tanggal 29 April 1945 kepala pemerintahan Jepang untuk Jawa (Gunseikan) membentuk BPUPKI dengan Anggota sebanyak 60 orang yang merupakan wakill atau mencerminkan suku/golongan yang tersebar di wilaya Indonesia. Salah satu masalah yang dihadapi oleh negeri yang mayoritas berpenduduk muslim pada awal pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Selain itu yang menjadi faktor penting dalam kaitan ini adalah posisi Islam di dalam negara. Terjadinya simpang pemahaman umat Islam dalam persoalan inilah yang banyak melahirkan gesekan antara mereka yang menginginkan Negara Islam, Islamisasi negara, maupun negara sekuler.
Pada zaman jepang terjadi tarik menarik kepentingan antara banyak ideologi mengenai posisi agama di dalam negara. Perdebatan ini tidak berlangsung dalam satu waktu, melainkan dalam banyak babak. Pada masa penjajahan jepang perdebatan mengenai ketuhanan dalam butir pancasila di mulai sejak sidang pertama BPUPKI. Dalam perdebatan tentang dasar negara, para anggota sidang BPUPKI mengajukan tiga hal yang berkenaan dengan dasar negara. Pertama, apakah Indonesia akan dijadikan sebagai negara kesatuan atau negara federal (bondstaat) atau negara perserikatan (statenbond), kedua, masalah hubungan agama dan negara, dan yang ketiga, apakah negara akan menjadi republik atau kerajaan.
Pada saat BPUPKI mengadakan rancangan UUD tanggal 13 Juli 1945, KH. A. Wahid Hasyim mengajukan dua usul : pertama, agar pada pasal 4 ayat 2 rancangan UUD ditetapkan bahwa “yang menjadi Presiden hanya orang Indonesia asli ditambah dengan yang beragama Islam. Ia menilai jika dua syarat ini terpenuhi, maka perintah-perintah presiden akan mempunyai pengaruh yang besar. Kedua, Pasal 29 tentang agama yang berbunyi “agama negara adalah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut keyakinannya masing-masing”. Menurut Wahid, bunyi pasal ini akan memberikan dampak kejiwaan yang besar bagi umat Islam untuk berjuang membela tegaknya negara, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama. Dengan tuntutan ini, Boland menilai KH. A. Wahid Hasyim telah memanfaatkan rancangan Pembukaan UUD 1945 sebagai titik tolak untuk pengaturan lebih lanjut menuju suatu negara Islam.
Soekarno menyadari bahwa hal itu merupakan pengorbanan yang besar terutama bagi para patriot seperti Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam. Dalam tahapan sidang berikutnya, KH. A. Wahid Hasyim bersama Abikusno Tjokrosujoso, Kahar Muzakkir, Agus Salim mempelopori disahkannya Piagam Jakarta, setelah melalui perdebatan panjang. Keempat orang ini, secara ideologis berseberangan dengan kelompok nasionalis sekuler seperti Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A. Soebardjo, serta AA. Maramis yang keberatan dengan tujuh kata yang berbunyi …dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya pada alinea keempat Mukaddimah UUD itu.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Islam dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Setelah di sahkannya Piagam Jakarta, terjadi pertentangan dari petinggi masyarakat timur karena mayoritas masyarakat timur yang beragama nasrani.Para petinggi masyarakat timur ini pergi menemui bung hatta untuk mengusulkan di gantinya Butir-butir dalam pancasila sila pertama.Mereka tidak menyetujui tentang adanya Tujuh kalimat yang ada pada Piagam Jakarta yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” .Para petinggi masyarakat timur mengancam
akan keluar dari kesatuan negara jika Tujuh kalimat dalam pancasila sila pertama ini tidak di rubah.Pada tanggal 18 agustus 1945 UUD 1945 di sahkan dan di dalam pengesahan tersebut majelis
menghapuskan Piagam Jakarta tersebut dan Isi dari Piagam Jakarta,pada butir pertama yang diubah dalam perumusan Pancasila adalah Kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" berubah menjadi "Yang Maha Esa". akan tetapi umat Islam merasa kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut. Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya Pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam Mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan Pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, Pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan Pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting Pancasila jika dibanding dengan agama.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera. Terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersikukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut. Maka melalui Hatta, yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan, anggota PPKI dari Sumatera, ia berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.
Piagam Jakarta tidak berumur panjang. Hanya 56 hari. Karena, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (18 Agustus 1945), tujuh kata itu dicoret. Tampaknya KH. A. Wahid Hasyim berpikir jangka panjang dalam persetujuannya menghapus tujuh kata itu pada 18 Agustus 1945. Saat itu kondisinya demikian genting dan tidak menentu. Masa revolusi bukanlah saat yang tepat bagi para nasionalis Islami untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami mereka. Bagi mereka, mempertahankan kemerdekaan Indonesia harus didahulukan. Meskipun KH. A. Wahid Hasyim sebelumnya bersikukuh agar Islam dijadikan sebagai dasar negara, ia lebih mengutamakan persatuan bangsa dan negaranya daripada kepentingan golongannya. Padahal, sebagaimana kata Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu adalah merupakan kerja keras KH. A. Wahid Hasyim dan Kahar Muzakkir.
Yang paling pantas dicatat di sini adalah “pengorbanan” KH. A. Wahid Hasyim dan golongan Islam dalam menghapus tujuh kata Piagam Jakarta. KH. A. Wahid Hasyim menunjukkan fleksibilitas namun ketika satu hari setelah kemerdekaan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus, dia menerima untuk menggugurkan Piagam Jakarta dari konstitusi. Wilayah berpenduduk Kristen telah menyampaikan pesan kepada Mohammad Hatta bahwa mereka tidak akan bergabung dengan sebuah republik yang menunjukkan identitas Islam seperti itu, empat pimpinan Islam termasuk KH. A. Wahid Hasyim dari NU menyetujui kompromi tersebut. Malahan KH. A. Wahid Hasyim mengusulkan kepada para pimpinan Islam untuk mengubah asas ketuhanan dengan ditambah kata-kata yang Maha Esa (satu dan hanya satu-satunya), suatu rumusan yang berimplikasi tauhid: (monoteisme) bagi umat Islam.
Kesiapan berkompromi ini nampak sebagian didasarkan pada pemahaman yang relatif liberal terhadap Piagam Jakarta, KH. A. Wahid Hasyim telah menjelaskan sikapnya dengan argumen berikut: Pertama, kondisi saat itu sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka, kedua dia telah menerima dengan pemahaman, bahwa kewajiban mengikuti shari’ah Islam bagi umat Islam akan mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing.Dengan puas pada pasal yang menunjukkan “kebebasan” (sedangkan Piagam Jakarta mengatakan “kewajiban”), nampak bahwa KH. A. Wahid Hasyim memiliki penafsiran yang fleksibel terhadap Piagam Jakarta yang kabur batasannya, dan bukan yang lebih kaku yang ditakuti beberapa kalangan akan dipaksakan Islam.
KH. A. Wahid Hasyim, yang oleh Harry J. Benda disebut sebagai wakil Islam paling terkemuka pada masa akhir pendudukan Jepang,menunjukkan jalan pikiran moderat yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Ia menginginkan persatuan umat, baik sesama umat Islam, maupun dengan umat agama lain dalam bingkai negara Indonesia.
Sebagian rakyat Indonesia berkeinginan menghidupkan shari’ah Islam dengan mewujudkan negara Indonesia sebagai negara Islam, tetapi dengan lahirnya Republik Indonesia harus diterima, yang terpenting di dalamnya, kaum Muslimin dapat melaksanakan ajaran agamanya secara nyata. Dicantumkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dasar demokrasi (kedaulatan rakyat) dalam Pancasila memberikan pegangan kepada bangsa Indonesia untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan suatu golongan kepada golongan lain. Dipandang dari sudut hukum kenegaraan secara demokratis, tiap-tiap penduduk suatu negara mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam hal kepercayaan dan agamanya, kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikirannya serta dalam memelihara harta bendanya. Dari segi keagamaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang bersifat perorangan seperti soal ibadah, mengatur rumah tangga, paham politik, adat-istiadat, cara kerja di lapangan ekonomi, dan lain-lain, serta yang bersifat kemasyarakatan seperti hubungan timbal-balik antar umat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar